Bismillahirrahmanirrahiim
Menjadi seorang ibu, terlebih lagi untuk dua orang balita merupakan hal yang tak mudah bagi saya. Salah satu hal yang paling membuat khawatir adalah bagaimana pergaulan anak anak saya nanti di era digital seperti saat ini.
Memiliki basic seorang sarjana pendidikan, pernah menjabat sebagai kepala departemen pendidikan semasa di BEM, serta pernah mengajar di berbagai lembaga pendidikan membuat jiwa saya tergerak ketika mendapati fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar.
Hal ini berawal ketika anak pertama saya yang tiba tiba mengeluarkan kata "anjay" di usianya yang masih 3 tahun. Sontak saya kaget dan syok karena merasa tidak pernah mengajarkan kata kata tersebut ataupun memberikan tontonan yang tidak sesuai dengan usianya. Ternyata, ia belajar kata tersebut dari teman sebaya di lingkungan rumah.
Hal ini yang menjadi penggerak bagi saya untuk membuat Kelas Bermain dan Belajar Nahlah Kids. Saya sadar untuk menjaga anak anak saya tidak mungkin dengan mengurungnya seharian di rumah. Karena saya percaya bermain adalah kebutuhan dasar anak anak, sama hal nya dengam kebutuhan makan, minum dan lain lain.
Oleh karenanya, tahun lalu di bulan Agustus, ketika saya sudah pindah dari lingkungn rumah yang dulu, saya memberanikan diri untuk membuat Rumah Belajar dan Bermain dengan basic pendidikan dan pengetahuan yang saya miliki.
Rumah belajar yang awalnya saya niatkan agar anak anak saya memiliki teman main yang dapat saya awasi di dalam rumah, alhamdulillah mulai berkembang dengan adanya beberapa kelas yang saya buka.
Kelas pertama yang saya buka adalah bimbingan calistung ramah anak. Awalnya saya membuat kelas ini karena ada permintaan dari tetangga yang minta anaknya yang berusia 6 tahun untuk di les kan membaca dengan saya. Akhirnya seiring berjalannya waktu, murid saya semakin bertambah dan kini sudah ada 9 orang anak.
Namun di perjalanan, saya melihat ada beberapa orang tua yang mendaftarkan anaknya di kelas calistung namun sejatinya anak tersebut belum siap untuk belajar calistung. Berawal dari itulah saya kembali membuka kelas, yakni kelas bermain anak. Kelas ini berfokus pada stimulasi sensori dan motorik anak dengan cara yang menyenangkan, sehingga anak lebih siap untuk belajar membaca.
Namun tidak dipungkiri ada sedikit hambatan terkait bisnis yang saya jalani saat ini, yakni kurang fokusnya dalam segi marketing karena saat ini saya masih merangkap owner sekaligus guru. Untuk menghire guru saat ini saya belum berani karena rumah belajar saya masih tergolong murah dari segi biaya pendaftaran dan bulanannya.
Kebutuhan untuk pengembangan bisnis saya antara lain :
1. Sewa rumah (karena saat ini masih menyatu dengan rumah kontrakan saya jadi lebih sempit dan terletak di jalanan yang tidak bisa dilalui mobil) = 20juta/tahun
2. Hire guru = 1 juta
3. Sarana dan prasarana = 5 juta
4. Biaya marketing (iklan di instagram, facebook, google) = 2 juta
Mengapa saya mengikuti kompetisi ini?
Karena saya berharap dengan semakin berkembangnya bisnis Rumah Belajar dan Bermain Nahlah Kids ini, semakin meluas kebermanfaatan yang saya berikan di bidang pendidikan.
Melihat fenomena anak anak yang berbicara kasar sembari main game di warung sungguh memprihatinkan. Terlebih lagi sebagai ibu dari dua orang anak, saya ingin sekali menciptakan lingkungan rumah yang kondusif dan baik bagi anak anak saya. Selain itu saya ingin anak anak kembali ke fitrahnya, yakni bermain, bergerak dan mengeksplorasi lingkungannya. Sehingga kelak mereka bisa menjadi manusia Indonesia yang dapat mengabdi dan memberikan kebermanfaatan bagi bangsa Indonesia.
Saya amat percaya kalimat "it takes village to raise a children"
Dan hal itu bisa dimulai dengan menciptakan wadah bagi anak anak dan lingkungan sekitar melalui rumah belajar dan bermain yang saya dirikan.