Salam kenal, Sisters! Perkenankan aku untuk memulai cerita dari yang dekat, bahwa aku memberanikan diri berwirausaha dimulai dengan membenahi kondisi terdekat—yaitu mind-set.
Namaku Atika. Pada tahun 2019, aku mulai menjalankan usaha kookiko gluten-free house, yaitu dapur olahan penganan bebas terigu (gluten-free). Pada penghujung tahun 2015, aku didiagnosis epilepsi akibat adanya abnormalitas pada otak besar bagian kanan. Dua tahun pertama sebagai Orang dengan Epilepsi (ODE), dari bekerja kantoran hingga menjalani hobi traveling kujalani tanpa kendala berarti berkat sokongan obat-obatan medis (Obat Anti Epilepsi).
Long story short, pada tahun 2018 akhir, aku beralih ke terapi alternatif holistik. Ternyata, putus obat OAE menimbulkan withdrawal effects yang cukup keras hingga mengakibatkan aku hanya mampu bekerja dari rumah secara informal. Terapi juga menuntutku membatasi konsumsi pangan berbahan terigu (gluten-free). Butuh berbulan-bulan hingga aku mampu legowo menerima kondisiku. Seiring berjalannya waktu, segala keterbatasan dan tantangan ini aku sikapi sebagai kesempatan dan kelebihan untukku berproses lahir dan batin. Mind-set ini yang jadi penyemangatku dalam mengulik kreasi pangan gluten-free, hingga membangun usaha ke depannya.
Ngomongin gluten-free, tahu ‘kah Sisters bahwa Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor gandum (bahan baku tepung terigu) terbesar kedua di dunia? Pada tahun 2012, impor gandum Indonesia menembus 7,1 juta ton (APTINDO, 2013). Volume ini diprediksi akan semakin meningkat di masa mendatang, sebab konsumsi dan penggunaan gandum yang semakin meluas dan beragam. Prediksi APTINDO di atas terjawab oleh data republika.co.id (25 Feb 2022) yang mengungkap bahwa Indonesia tercatat mengimpor gandum sebanyak 8,4 juta ton tahun lalu dengan nilai 2,6 miliar dolar AS.
Selain menambah beban devisa negara, ketergantungan pada gandum jadi ancaman tersendiri bagi ketahanan pangan nasional serta bagi optimasi sumber daya lokal. Padahal, ada banget peluang pemanfaatan yang bisa kita lakukan, misal dibuat menjadi tepung siap olah seperti tepung pre-mix berbahan baku singkong, sorgum, jagung, talas, beras, dll; mau pun diolah menyerupai produk siap santap berbahan terigu yang jamak kita konsumsi selama ini seperti roti, cookies, pizza, dan produk bakery lainnya.
If you want to walk fast, walk alone, but if you want to walk far, walk together. Dalam menggiatkan bisnis makanan berbasis tepung berbahan baku lokal, aku memahami kutipan di atas bahwa tidak ada hasil yang optimal tanpa ada kesadaran dan sikap menghargai proses (mindful attitude). Kutipan ini merangkum misi kookiko mendukung usaha lokal, mulai dari memilih, memilah, hingga mengolah, menyajikan, dan menjajakan kreasi kookiko.
Atas pertimbangan pemberdayaan dan kemandirian, kookiko berharap bisa jadi rumah kreasi penganan berbahan baku sumber daya lokal bebas terigu. Selain mengolah, kookiko juga aktif dalam menarasikan produk dan proses produksi mitra usaha ekstraktif skala lokal dalam media-media promosi kookiko.
Dalam mendukung niat ini, membangun jaringan dan menjalin komunikasi bersama mitra usaha lokal adalah tahap krusial selanjutnya. Akses internet mendukungku bertemu penggiat makanan berbasis bahan pangan lokal bebas terigu se-Indonesia. Mulai dari menggali pengetahuan seputar tepung bebas terigu dan bahan baku lokal lainnya, mengikuti baking course via beragam platform, ikut serta dalam forum digital komunitas baking, hingga belajar bisnis via kanal digital, merupakan beberapa aktivitas rutin yang kulakukan selama work from home sekarang ini.
Selama mengembangkan olahan berbahan baku lokal gluten-free, instrumen selanjutnya yang aku butuhkan dalam meningkatkan performa usahaku di antaranya :
Akhir kata, semoga upaya pengembangan produk diikuti edukasi kepada masyarakat dapat meningkatkan awareness dan penerimaan masyarakat terhadap penganan non-terigu yang sumber dayanya melimpah ruah memberkahi Tanah Air kita.
“Diversifikasi konsumsi pangan masyarakat mencakup aspek perilaku yang didasari baik oleh pertimbangan ekonomis, seperti tingkat pendapatan dan harga komoditas; maupun non-ekonomis, seperti kebiasaan, selera, dan pengetahuan (Hanani, 2008)”