#Sispreneur, Usia Bukan Alangan untuk Belajar Bisnis Sosis & #BeraniNaikKelas!
Ada perumpaan: “lebih baik menjadi kepala tikus daripada jadi ekor gajah.” Ya, saat ini tren anak muda memang lebih gemar memiliki usaha kecil dan membuka peluang kerja bagi orang lain daripada jadi karyawan di sebuah perusahaan besar. Tapi bagaimana jika usia tidak lagi muda?
Age Is Just a Number
Dulunya saya, Santi Hakim, adalah si ekor gajah yang bekerja berpuluh tahun di berbagai perusahaan. Setelahnya pun menjadi selfemployee sebagai pendekor dan pengadaan souvenir. Semua itu saya lakukan di usia “BALITA” (Bawah Lima Puluh Tahun). Kemudian melewati usia pensiun, saya mulai mencari kegiatan yang lebih aman dilakukan secara fisik. Artinya yang enggak perlu memanjat tangga untuk memasang flower arrangement, misalnya. Lalu perjalanan hidup membawa saya berpartner di usaha kuliner pada masa pandemi Covid 19, dua tahun lalu.
Memiliki bisnis baru, tentu semangat menggebu. Saya sering mengikuti pelatihan dan kompetisi yang ada. Namun seringkali merasa sedikit kecewa ketika ada ada batasan usia peserta. Aaaah… padahal jiwa dan semangat ini masih memenuhi syarat. Jadi terkadang saya tetap mengisi google form event tersebut karena start up business bukan dihitung dari umur pemiliknya tapi dari usia usahanya, bukan?
Jodoh Bertalenta
Memiliki partner bisnis seperti memilih jodoh. Kadang sulit dapat yang cocok di hati, kadang tanpa diduga tiba-tiba muncul di depan mata. Partner saya, Meliana, bukan orang yang asing bagi saya karena kami teman mengaji. Meski sering bertemu, kami tidak pernah membicarakan bisnis. Hingga suatu hari saya ke rumahnya yang sekaligus tempat produksi. Dia mulai menceritakan usahanya yang sedang redup terkena dampak pandemi. Maklum, produknya yang berupa cireng paling banyak dipasarkan di sekolah-sekolah. Seperti kita ketahui, pada masa itu semua kegiatan belajar-mengajar di sekolah ditiadakan. Sekolah ditutup dan itu berarti hilangnya pasar terbesar.
Mengingat pola hidup masyarakat yang kini berubah dengan lebih banyak berkegiatan di rumah, saya mengingatkan dia agar memunculkan “hero” lain selain cireng sebagai produk unggulan. Lalu kami pun memutuskan untuk mengusung WIZZ Sausage, sosis ayam sebagai komoditi baru Meraki Cipta Rasa.
Pedagang vs Pebisnis
Rekan saya itu meski sudah sejak tahun 2007 menjalani usaha, dia tidak memiliki legalitas apapun. Dia tidak pernah memikirkan soal perizinan dan sertifikasi produk, bahkan nama merek. Baginya, memproduksi hingga 17.000 keping cireng setiap malam, kemudian pada pagi harinya produk tersebut diambil oleh para distributor adalah sudah lebih dari cukup. Lalu ketika ada distributor yang “selingkuh”, dia baru menyadari bahwa dia tidak kenal marketnya, end user-nya. Selama ini dia hanya berlaku sebagai pedagang yang menjalani usahanya dengan tekun.
Kehadiran saya dalam usaha ini memang tidak bisa secara serta merta mengembalikan omzet gemilangnya dulu. Yang saya lakukan adalah membangun bisnis secara berjangka.
Langkah Awal
Setahun pertama saya berusaha membangun image brand. Mencari nama, membentuk media sosialnya, membuat toko di marketplace serta mengikuti berbagai event dan bazar. Tidak lupa bergabung ke dalam komunitas UMKM agar lebih mengenal dan dikenal lingkungan. Dari situ pula saya jadi tahu langkah-langkah yang harus dilakukan untuk membuat legalitas usaha & produk.
Saya pun mulai berkunjung dan berkenalan dengan dinas yang terkait. Untuk meminta pembinaan, saya hubungi Dinas Koperasi (Dinkop). Melalui Dinkop, saya mendapat fasilitas sertifikasi Halal MUI. Kemudian, berdasarkan arahan Dinkop, saya diminta untuk menghubungi Dinas Industri Perdagangan (Indag) untuk pengurusan HKI merek. Untuk pengurusan ini pun saya mendapat surat rekomendasi dari Dinas sehingga hanya membayar sebagian dari tarif normal yang ditentukan.
Di sini saya sangat merasakan dukungan pemerintah terhadap UMKM, khususnya melalui program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) sebagai upaya bangkit setelah keterpurukan di masa pandemi. Terbukti dari begitu banyak kemudahan dan fasilitas yang saya peroleh. Bahkan saya mendapat kesempatan menerima fasilitas GMP (Good Manufacture Practices) atau CPPOB (Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik) dari Indag. Biaya sertifikasi tersebut bisa dibilang tinggi harganya dan saya hanya menanggung perbaikan fisik bangunan sesuai SOP. Jadi, sekali lagi saya merasa amat sangat bersyukur karena dalam kurun waktu satu tahun mendapatkan begitu banyak fasilitasi dari Pemerintah Kota Tangerang Selatan.
Produk Juara
Sebulan setelah launching, WIZZ Sausage mengikuti Lomba Makanan yang diselenggarakan BPJE DPD PKS Tangsel. Di luar perkiraan, produk unggulan baru dari Meraki Cipta Rasa ini berhasil meraih Juara 1 Kategori Frozen Food. Beberapa bulan kemudian, WIZZ Sausage juga memperoleh penghargaan sebagai Juara 2 Kategori Kuliner pada ajang Tangsel Digifest.
Pada tahun yang sama pula, Meraki Cipta Rasa berhasil lolos kurasi Karya Kreasi Banten. Dengan demikian sejak saat itu kami menjadi binaan Bank Indonesia Banten yang banyak memberikan pelatihan dan peluang untuk peningkatan produk dan usaha.
Tahun Kedua
Setelah mengantongi sertifikasi halal, target selanjutnya tahun ini adalah pengurusan izin edar. Berbekal manual GMP/CPPOB, saya mendaftarkan produk ke BPOM. Hingga saat ini proses masih berjalan, semoga tidak ada kendala sehingga produk bisa bebas beredar lebih luas.
Tahun ini pun saya masih tetap antusiaas mengikuti berbagai pelatihan atau kompetisi untuk meningkatkan skala usaha. Salah satu event yang saya ikuti mempersyaratkan laporan keuangan dan legalitas usaha. Dari situ saya belajar untuk teratur mencatat pendapatan dan pengeluaran. Selain itu saya juga ke notaris untuk mengurus pendirian badan usaha.
Bagi saya, lolos atau menang dalam sebuah kompetisi adalah sebuah bonus. Yang terpenting adalah semua itu memotivasi saya untuk lebih tertib, lebih terarah, dan memiliki tujuan yang lebih jelas. Selain itu juga memperluas wawasan dan jaring pertemanan.
Saat ini, Meraki Cipta Rasa sedang dalam pendampingan ekspor oleh Indag. Untuk itu, masih banyak dokumen-dokumen yang perlu dilengkapi. Jadi, rasanya ekspor adalah target jangka menengah. Ini memang bukan tujuan utama, mengingat masih banyak pasar lokal yang belum tergarap.
Target ke depan
Dalam mengembangkan produk, WIZZ sausage nantinya akan mengeluarkan varian rasa baru. Rencananya akan ada dua wacana kemasan produk, yaitu single pack ready to eat atau kemasan kaleng/jar plastik. Sementara untuk meningkatkan masa simpan produk, akan diujicoba dengan menggunakan teknologi iradiasi sinar gamma oleh BRIN.
Untuk kanal pemasaran, ke depannya akan lebih ditingkatkan melalui penjualan secara B2B ke hotel-hotel dan whitelabel. Sementara untuk penjualan B2C tetap dilakukan melalui sosial media dan marketplace.
Untuk mewujudkan target tersebut tentunya perlu sejumlah investasi. Tahap 1, dibutuhkan dana sebesar Rp100.000.000 di antaranya 60% untuk pengadaan mesin. Di samping itu juga butuh untuk mendongkrak penjualan di sosmed dengan menggunakan influencer atau KOL sekitar 25%. Selebihnya digunakan untuk manpower sebesar 15%.
Salah satu cara meningkatkan usaha yang saya lakukan adalah dengan mengikuti program W20 #Sispreneur ini. Selain menambah wawasan dan jejaring pertemanan, hadiah yang ditawarkan bisa menambah moda usaha. Hadiah yang paling terendah saja sudah bisa membeli mesin vacuum. Apalagi jika terpilih menjadi pemenang pertama, bisa beli bowl cutter kapasitas besar, mesin pemotong daging, dan alat pencetak sosis yang otomatis.
People, Profit, Planet
Berbekal ilmu dari salah satu pendampingan, saya menerapkan bisnis lestari dengan memperhatikan 3 pilar utama, yaitu People, Profit, dan Planet.
Dalam usaha ini, masyarakat di lingkungan rumah produksi banyak dilibatkan. Kami juga terbuka bagi para siswa yang membutuhkan tempat untuk magang, PKL atau penelitian. Saat ini sudah ada 2 MOU dengan Sekolah Menengah Kejuruan.
Kami juga berkomitmen mengambil bahan baku utama yaitu ayam broiler dari peternak lokal. Ayam tersebut kami sembelih sendiri untuk memastikan kehalalannya. Dengan demikian konsumen merasa yakin akan produk WIZZ sausage.
Sejatinya sebuah bisnis memang berorientasi terhadap profit. Dalam usaha yang saya jalani ini, profit bukan hanya berfokus pada ROI (Return on Investement), namun juga memperhitungkan ROA (Return on Akhira). Oleh karena itu, kami menyisihkan sebagian keuntungan untuk kegiatan amal.
Saya sadar bahwa produk sosis ini sulit menghindari kemasan plastik. Namun untuk mengurangi sampah plastik, kami menggelar program cashback bagi konsumen yang mengembalikan kemasan produk. Plastik tersebut nantinya akan didaur ulang menjadi lempeng papan. Papan tersebut bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan.
Saat Terbaik
Kembali lagi ke soal usia, jadi kapan waktu yang tepat untuk memulai usaha? Saat muda begitu selesai pendidikan, ketika merasa cukup bekerja di perusahaan impian, atau setelah memasuki masa pensiun?
Kalau menurut saya, waktu terbaik untuk memulainya adalah saat ini, di usia berapa pun itu. Hadirkan seluruh potensi terbaik yang dimiliki untuk membangun usaha dan mengembangkannya dengan penuh perhitungan.
Jadi #Sispreneur, tidak ada kata terlambat untuk memulai usaha. Tidak perlu ragu untuk berbisnis dan #BeraniNaikKelas!